Kamis, 25 Juni 2015

Monitoring Tanaman Bawang Merah

Penulis: Kontributor Lembaga Pelita Sumba

Monitoring tanaman bawang merah
 Pada tanggal 21 Juni 2015 yang lalu, anggota Kelompok Perempuan Ndaku Mbuata Monung melakukan monitoring terhadap tanaman bawang merah yang mereka tanam. Selain anggota kelompok perempuan Ndaku Mbuata Monung, ikut hadir pula para pendamping dari lembaga Pelita.
Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan usaha pengembangan bawang merah di setiap kelompok tetap berjalan dengan baik.

Dalam kegiatan monitoring ini terjadi sharing pembelajaran terkait pengembangan usaha, baik peluang, tantangan usaha, maupun perkembangan pasar. Selain itu mereka mencari solusi masalah bagi kelompok yang mengeluh tentang kesulitan dalam melakukan penyiraman tanaman secara manual.

Kamis, 11 Juni 2015

Belajar Pengawetan Makanan di Rumah KAIL

Penulis: Agustein Okamita

Hari Minggu tanggal 7 Juni 2015 adalah hari terakhir dari tujuh hari kegiatan pelatihan peningkatan kapasitas organisasi-organisasi LSM Sumba. Sejak hari Sabtu para perwakilan LSM dari Sumba sudah berada di Rumah KAIL, Kampung Cigarugak, Desa Giri Mekar, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Pada hari Minggu itu mereka belajar tentang tata cara pengawetan makanan. Selain dihadiri oleh para peserta pelatihan dan para staff KAIL, kegiatan hari itu dihadiri juga oleh relawan KAIL dan warga sekitar Rumah KAIL, dan Rio, salah seorang fasilitator dalam pelatihan permakultur di Rumah KAIL beberapa waktu yang lalu.

Pembawa materi sesi pengawetan makanan ini adalah Ibu Susen Suryanto dari PIKPL Semanggi. Dalam kesempatan ini, Ibu Susen menjelaskan manfaat pengawetan makanan, yaitu agar makanan terhindar dari pembusukan dan bisa disimpan dalam waktu yang lebih lama. Ibu Susen juga menceritakan tentang tahap-tahap pengawetan makanan, yaitu dengan proses blansing (blanching) dan pengeringan. Proses blansing adalah proses pemanasan bahan makanan untuk mematikan mikroorganisme dan enzim-enzim yang mempercepat perusakan bahan makanan itu. Proses itu dilakukan dengan memanaskan bahan makanan di dalam air panas atau uap panas dalam waktu tertentu, lalu setelah itu bahan makanan diangkat dan langsung dimasukkan ke dalam air es. Setelah dilakukan proses blansing, makanan bisa dikeringkan dengan cara dijemur atau menggunakan alat pengering (dehidrator). Selain dengan proses pengeringan, bahan makanan juga bisa diawetkan dengan proses curing. Proses curing adalah proses pengawetan makanan dengan cara merendam makanan dalam larutan garam, gula, dan cuka. Proses curing ini biasanya dilakukan untuk membuat acar atau manisan buah-buahan.

Setelah mendengarkan penjelasan tentang manfaat dan cara-cara pengawetan bahan makanan, para peserta diajak untuk mempraktekkannya. Semua peserta bersama-sama membersihkan cabai rawit dan mengupas bawang putih. Setelah selesai dibersihkan, cabai rawit dan bawang putih di-blansing dalam air mendidih. Ibu Susen mendemonstrasikan cara-cara melakukan blansing terhadap cabai rawit dan bawang putih, dan selanjutnya para peserta ikut mencobanya secara bergantian. Selain proses blansing, para peserta juga belajar melakukan sterilisasi botol kaca. Cabai rawit dan bawang putih yang sudah di-blansing kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Setelah halus, sambal yang sudah jadi tersebut dimasukkan ke dalam botol-botol kaca. Proses selanjutnya adalah merebus botol berisi sambal dalam air mendidih atau mengukusnya selama kurang lebih setengah jam.

Para peserta mengikuti setiap proses pembelajaran dengan cukup antusias. Mereka banyak mengajukan pertanyaan, dan senang dengan pelajaran yang mereka peroleh hari itu. Tidak hanya itu, para peserta juga bisa membawa pulang sambal bawang yang mereka buat bersama-sama tadi.

Aktivis LSM Sumba kunjungi Baleendah dan Bandasari

Penulis: Melly Amalia

Pada Hari Lingkungan tanggal 5 Juni 2015 yang lalu, tim KAIL mendampingi delapan orang perwakilan LSM dari Sumba untuk belajar dari kunjungan lapangan di Bandung. Mereka mengunjungi bantaran Sungai Citarum di wilayah Baleendah dan kawasan Ecovillage di Bandasari, Soreang. Berikut ini adalah liputannya. 

Kunjungan ke Baleendah
Sekitar jam tujuh pagi, kami sudah bersiap-siap melakukan perjalanan ke arah Bandung Selatan. Lokasi pertama yang akan kami kunjungi adalah Baleendah. Perjalanan menuju Baleendah cukup lancar dengan jarak tempuh sekitar satu jam. Kami sampai di depan salah satu pabrik dan disambut oleh seorang teman, Iwang dari PSDK. Iwang sangat familiar dengan kawasan ini karena berperan menjadi pendamping korban banjir di Baleendah.

Baleendah merupakan daerah langganan banjir di Kabupaten Bandung sejak puluhan tahun lalu sampai sekarang. Banjir tersebut semakin lama semakin parah. Saking parahnya, ketinggian banjir bahkan bisa melebihi atap rumah warga. Pada tahun 1970 sampai 1980-an, 90% wilayah Baleendah adalah daerah pertanian (persawahan). Namun sejak Kecamatan Baleendah direncanakan menjadi ibu kota Kabupaten Bandung pada tahun 1980-an, dimulailah pembangunan berbagai sarana dan prasarana di wilayah tersebut, termasuk di antaranya perumahan, tempat ibadah, sekolah. Pembangunan ini mengubah sebagian besar wilayah pertanian menjadi gedung-gedung. Saat ini, kondisi wilayah tersebut telah berubah sangat drastis. Banyak pabrik dan pemukiman yang berdiri di kawasan itu dan sayangnya sebagian besar limbahnya dibuang ke badan Sungai Citarum.

Bersama Iwang, kami menyusuri sudut-sudut pemukiman warga di sepanjang bantaran Sungai Citarum sampai ke posko banjir. Selama perjalanan, masih terlihat bekas batas banjir di tembok-tembok rumah warga. Beberapa rumah bahkan sampai dibiarkan kosong. Mungkin penghuninya sudah pindah dan tidak tinggal di sana lagi. Sepanjang perjalanan, banyak sampah yang berserakan di sekitar dan di dalam sungai. Bisa jadi ini merupakan salah satu penyebab banjir. Pada saat terjadi banjir, sampahnya pun ikut terbawa dan ada yang masih tersangkut di beberapa tiang atau penyangga. Di sepanjang Sungai, beberapa pipa pembuangan limbah dari pabrik juga terlihat jelas. Mengingat kawasan ini dikelilingi oleh pabrik-pabrik yang kemungkinan sebagian besar membuang limbahnya di Sungai Citarum, tak heran bila air yang ada dalam Sungai Citarum ini menjadi berwarna abu-abu kehitaman.

Bantaran Sungai Citarum
Akhirnya kami tiba di bantaran Sungai Citarum. Dari kejauhan tampak ada gundukan sampah di mana-mana. Di sekitar kolong jembatan Desa Baleendah yang menghubungkan antara Kampung Citeureup dan Kampung Cieunteung, terjadi banyak pendangkalan di Sungai Citarum. Kondisi air sangat keruh dengan warna abu kehitam-hitaman. Beberapa warga tampak sedang menjaring ikan. Entah ikannya banyak atau tidak, tapi kemungkinan besar ikan tersebut sudah bisa beradaptasi dengan racun-racun yang ada dalam aliran Sungai Citarum.

Akhirnya kami bertemu dengan Pak Jaja, ketua RW 20 Kampung Cieunteung, Desa Baleendah, Kecamatan Baleendah. Di sana terlihat jelas kondisi rumah-rumah yang terkena banjir. Hal ini bisa dipahami mengingat desa ini adalah salah satu tempat langganan banjir terparah. Bahkan bisa mencapai 3 meter! Banyak rumah-rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya.

Diskusi antara teman-teman LSM Sumba dan Pak Jaja pun mengalir. Dari penuturan Pak Jaja, ada dua hal yang menjadi penghambat penyelesaian masalah banjir di sana, yaitu limbah pabrik dan adanya banjir kiriman. Pak Jaja berharap agar mereka tidak mewariskan alam yang rusak untuk anak cucunya.

Saya pun mengamati saluran air yang ada di sekitar. Ternyata di sana pun airnya berwarna abu-abu kehitaman. Air sungai di sana telah bercampur dengan air yang berasal dari buangan limbah pabrik. Harapan Pak Jaja perlu kita dukung. Anak cucu kita seharusnya berhak mendapatkan air yang bersih dan alam yang subur. 

Daerah Wisata di Ciwidey
Sekitar jam 10.30 kami pamit. Perjalanan dilanjutkan ke lokasi berikutnya, Ecovillage di Bandasari. Sebelum ke Bandasari, kami singgah ke Ciwidey, tepatnya daerah Kawah Putih, salah satu tempat wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan. Kami tidak bisa berlama-lama di sana, karena kabut mulai turun dan bau belerang semakin menyengat. Kami melanjutkan menikmati kesejukan alam di tempat pemandian air panas, yang masih berada di daerah Ciwidey. Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk merendam kaki-kaki kami yang penat setelah berjalan-jalan di lokasi sebelumnya. Rasanya segar sekali.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandasari, belum lengkap rasanya bila kami tidak menyapa perut yang minta diisi. Kami menyempatkan diri makan siang di Restaurant Saung Gawir dengan menu khas Jawa Barat seperti ulukutek (campuran oncom dan leunca), karedok (Campuran sayur-sayuran dengan bumbu kacang, sejenis gado-gado), sambal terasi, lalap, tahu tempe, dan lain-lain.

Setelah satu jam perjalanan, sampailah kami di Desa Bandasari. Kawasan seluas dua hektar ini merupakan lahan bersama antara Kail dan YPBB. Di kawasan ini akan dibangun pemukiman dengan konsep ecovillage, termasuk di dalamnya lahan yang dirancang dengan prinsip-prinsip permakultur. Saat menginjakkan kaki di sana, dari kejauhan sudah tampak beberapa sudut pembenihan dan penanaman sayur-sayuran.

Sesampainya di sana, kami beristirahat sejenak menikmati minuman hangat (bandrek, kopi atau susu murni) dan makanan ringan yang sudah disediakan. Setelah cukup puas makan-makan, Gungun (YPBB) sebagai pemandu mengajak peserta mengelilingi kawasan Ecovillage Bandasari. Penjelajahan dimulai dari bagian perangkat biodigester yang berasal dari kotoran sapi dan kotoran manusia (septic tank). Hasilnya yang berupa gas dimanfaatkan untuk kebutuhan dapur. Sementara hasil yang berupa pupuk digunakan untuk menyuburkan tanah di lahan yang akan digarap, lahan tanam dan kolam ikan.

Dari bagian biodigester, kami berjalan-jalan menjelajahi bagian-bagian lain kawasan. Ada lahan pembibitan dan sayuran yang siap panen. Semua sayuran itu terlihat sangat segar dan menggoda untuk dipanen. Pulangnya, kami dibekali sayuran organik tersebut J.





Beragam Jenis Sayuran Organik di Bandasari

Teman-teman Sumba sangat menikmati suasana di Bandasari. Meski hari sudah hampir gelap, rasanya enggan sekali meninggalkan kesejukan dan kenyamanan Bandasari. Kalau tidak ingat waktu, ingin rasanya kami tinggal di sana lebih lama lagi. Foto Bersama.


Akhirnya sekitar pukul enam sore kami pulang menuju kota Bandung. Kami pulang kembali ke Bandung membawa kenangan bagaimana material yang ada dikelola dengan konsep siklus tertutup dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengelola kawasan tersebut. Beberapa peserta terinspirasi untuk membangun kampungnya dengan konsep serupa.

Secara keseluruhan acara kunjungan ini sangat menyenangkan dan membuka mata, hati dan pikiran teman-teman LSM Sumba. Semoga dengan membandingkan antara kondisi alam Sumba dan Bandung, masih ada secercah harapan untuk Pulau Sumba dalam melaksanakan pembangunan tanpa merusak kondisi alam mereka. Seperti kata Ibu Trouce Landukara (Oce), salah satu peserta dari LSM Sandika, bahwa setelah kunjungan ini ada banyak inspirasi yang bisa dilakukan sesampainya di Sumba nanti.



***