Kunjungan ke Baleendah |
Baleendah merupakan daerah langganan banjir di Kabupaten Bandung sejak puluhan tahun lalu sampai sekarang. Banjir tersebut semakin lama semakin parah. Saking parahnya, ketinggian banjir bahkan bisa melebihi atap rumah warga. Pada tahun 1970 sampai 1980-an, 90% wilayah Baleendah adalah daerah pertanian (persawahan). Namun sejak Kecamatan Baleendah direncanakan menjadi ibu kota Kabupaten Bandung pada tahun 1980-an, dimulailah pembangunan berbagai sarana dan prasarana di wilayah tersebut, termasuk di antaranya perumahan, tempat ibadah, sekolah. Pembangunan ini mengubah sebagian besar wilayah pertanian menjadi gedung-gedung. Saat ini, kondisi wilayah tersebut telah berubah sangat drastis. Banyak pabrik dan pemukiman yang berdiri di kawasan itu dan sayangnya sebagian besar limbahnya dibuang ke badan Sungai Citarum.
Bersama Iwang, kami menyusuri sudut-sudut pemukiman warga di sepanjang bantaran Sungai Citarum sampai ke posko banjir. Selama perjalanan, masih terlihat bekas batas banjir di tembok-tembok rumah warga. Beberapa rumah bahkan sampai dibiarkan kosong. Mungkin penghuninya sudah pindah dan tidak tinggal di sana lagi. Sepanjang perjalanan, banyak sampah yang berserakan di sekitar dan di dalam sungai. Bisa jadi ini merupakan salah satu penyebab banjir. Pada saat terjadi banjir, sampahnya pun ikut terbawa dan ada yang masih tersangkut di beberapa tiang atau penyangga. Di sepanjang Sungai, beberapa pipa pembuangan limbah dari pabrik juga terlihat jelas. Mengingat kawasan ini dikelilingi oleh pabrik-pabrik yang kemungkinan sebagian besar membuang limbahnya di Sungai Citarum, tak heran bila air yang ada dalam Sungai Citarum ini menjadi berwarna abu-abu kehitaman.
Bantaran Sungai Citarum |
Akhirnya kami bertemu dengan Pak Jaja, ketua RW 20 Kampung Cieunteung, Desa Baleendah, Kecamatan Baleendah. Di sana terlihat jelas kondisi rumah-rumah yang terkena banjir. Hal ini bisa dipahami mengingat desa ini adalah salah satu tempat langganan banjir terparah. Bahkan bisa mencapai 3 meter! Banyak rumah-rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya.
Diskusi antara teman-teman LSM Sumba dan Pak Jaja pun mengalir. Dari penuturan Pak Jaja, ada dua hal yang menjadi penghambat penyelesaian masalah banjir di sana, yaitu limbah pabrik dan adanya banjir kiriman. Pak Jaja berharap agar mereka tidak mewariskan alam yang rusak untuk anak cucunya.
Saya pun mengamati saluran air yang ada di sekitar. Ternyata di sana pun airnya berwarna abu-abu kehitaman. Air sungai di sana telah bercampur dengan air yang berasal dari buangan limbah pabrik. Harapan Pak Jaja perlu kita dukung. Anak cucu kita seharusnya berhak mendapatkan air yang bersih dan alam yang subur.
Daerah Wisata di Ciwidey |
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandasari, belum lengkap rasanya bila kami tidak menyapa perut yang minta diisi. Kami menyempatkan diri makan siang di Restaurant Saung Gawir dengan menu khas Jawa Barat seperti ulukutek (campuran oncom dan leunca), karedok (Campuran sayur-sayuran dengan bumbu kacang, sejenis gado-gado), sambal terasi, lalap, tahu tempe, dan lain-lain.
Setelah satu jam perjalanan, sampailah kami di Desa Bandasari. Kawasan seluas dua hektar ini merupakan lahan bersama antara Kail dan YPBB. Di kawasan ini akan dibangun pemukiman dengan konsep ecovillage, termasuk di dalamnya lahan yang dirancang dengan prinsip-prinsip permakultur. Saat menginjakkan kaki di sana, dari kejauhan sudah tampak beberapa sudut pembenihan dan penanaman sayur-sayuran.
Sesampainya di sana, kami beristirahat sejenak menikmati minuman hangat (bandrek, kopi atau susu murni) dan makanan ringan yang sudah disediakan. Setelah cukup puas makan-makan, Gungun (YPBB) sebagai pemandu mengajak peserta mengelilingi kawasan Ecovillage Bandasari. Penjelajahan dimulai dari bagian perangkat biodigester yang berasal dari kotoran sapi dan kotoran manusia (septic tank). Hasilnya yang berupa gas dimanfaatkan untuk kebutuhan dapur. Sementara hasil yang berupa pupuk digunakan untuk menyuburkan tanah di lahan yang akan digarap, lahan tanam dan kolam ikan.
Dari bagian biodigester, kami berjalan-jalan menjelajahi bagian-bagian lain kawasan. Ada lahan pembibitan dan sayuran yang siap panen. Semua sayuran itu terlihat sangat segar dan menggoda untuk dipanen. Pulangnya, kami dibekali sayuran organik tersebut J.
Beragam Jenis Sayuran Organik di Bandasari |
Teman-teman Sumba sangat menikmati suasana di Bandasari. Meski hari sudah hampir gelap, rasanya enggan sekali meninggalkan kesejukan dan kenyamanan Bandasari. Kalau tidak ingat waktu, ingin rasanya kami tinggal di sana lebih lama lagi. Foto Bersama.
Akhirnya sekitar pukul enam sore kami pulang menuju kota Bandung. Kami pulang kembali ke Bandung membawa kenangan bagaimana material yang ada dikelola dengan konsep siklus tertutup dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengelola kawasan tersebut. Beberapa peserta terinspirasi untuk membangun kampungnya dengan konsep serupa.
Secara keseluruhan acara kunjungan ini sangat menyenangkan dan membuka mata, hati dan pikiran teman-teman LSM Sumba. Semoga dengan membandingkan antara kondisi alam Sumba dan Bandung, masih ada secercah harapan untuk Pulau Sumba dalam melaksanakan pembangunan tanpa merusak kondisi alam mereka. Seperti kata Ibu Trouce Landukara (Oce), salah satu peserta dari LSM Sandika, bahwa setelah kunjungan ini ada banyak inspirasi yang bisa dilakukan sesampainya di Sumba nanti.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar